Beranda | Artikel
Qadha Puasa Wajib Dan Puasa Sunnah?
Kamis, 28 Mei 2020

QADHA PUASA WAJIB DAN PUASA SUNNAH?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn ditanya : Apabila qadha` puasa wajib bertepatan waktunya dengan puasa sunnah, apakah seseorang boleh melakukan puasa sunnah dan qadha` puasa wajib setelahnya, ataukah dimulai dengan puasa wajib? Misalnya, puasa hari ‘Asyura bertepatan dengan qadha` puasa Ramadhan.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjawab : Berkaitan dengan puasa wajib dan puasa sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu disyariatkan. Dan yang sesuai dengan akal, tentu memulainya dari yang wajib, belum melakukan sunnah. Karena yang fardhu merupakan kewajibannya, sedangkan yang sunnah merupakan tambahan jika mampu; jika tidak mampu, maka tidak mengapa.

Berdasarkan penjelasan ini, kami sampaikan kepada orang yang memiliki tanggungan puasa Ramadhan, yang wajib atasmu ialah qadha` puasa Ramadhan sebelum melakukan puasa sunnah. Jika ia melakukan puasa sunnah sebelum mengqadha` puasa yang menjadi kewajibannya, maka menurut pendapat yang shahîh, puasanya benar, selama masih memiliki waktu lain untuk mengqadha`. Karena waktu qadha` Ramadhan itu terbentang waktunya sampai dengan Ramadhan berikutnya, seukuran puasa yang menjadi tanggungannya. Selama waktunya masih memungkinkan, maka boleh melakukan puasa sunnah.

Seperti halnya shalat fardhu, jika seseorang melakukan shalat sunnah sebelum melakukan shalat fardhu dan waktunya masih longgar, maka itu boleh. Sehingga, barangsiapa yang berpuasa ‘Asyura atau hari ‘Arafah, sedangkan ia masih memiliki hutang (puasa wajib), maka puasa sunnahnya itu sah. Akan tetapi, seandainya ia berniat puasa hari ini (‘Asyura atau ‘Arafah) untuk mengqadha` Ramadhan, maka ia akan mendapatkan dua pahala, yaitu puasa hari ‘Asyura atau ‘Arafah ditambah pahala qadha` Ramadhan. Ini kaitannya dengan puasa sunnah yang mutlaq, yang tidak terkait dengan Ramadhan.

Adapun puasa enam hari bulan Syawwal, maka ini erat kaitannya dengan Ramadhan. Dan puasa sunnah enam hari ini tidak akan ada kecuali setelah mengqadha` Ramadhan. Jika ada orang yang melakukan puasa sunnah Syawwal sebelum mengqadha` kewajibannya, maka ia tidak mendapatkan pahala. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa puasa Ramadhan kemudian diiringi dengan enam hari Syawwal, maka seakan-akan dia puasa sepanjang tahun. [Diriwayatkan oleh Imam Muslim].

Sebagaimana diketahui, orang yang masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan, ia tidak dianggap telah berpuasa Ramadhan sehingga ia menyempurnakan qadha. Inilah sebuah permasalahan yang menjadi anggapan sebagian orang, bahwa jika ia khawatir bulan Syawwal habis sebelum sempat puasa enam hari, maka ia boleh berpuasa, meskipun masih memiliki tanggungan qadha`. Anggapan ini merupakan kekeliruan, karena puasa sunnah enam hari tidak bisa dikerjakan oleh seseorang, kecuali jika ia sudah menyelesaikan tanggungan puasa Ramadhan.

(Fatâwâ fî Ahkâmish-Shiyâm, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, hlm. 438-439).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

MEMBATALKAN PUASA QADHA’

Pertanyaan.
Orang yang sedang mengqadha’ puasa, bolehkah ia membatalkannya? Begitu juga dengan puasa sunat, (bolehkah ia membatalkannya)?

Jawaban.
Apabila seseorang sudah berniat untuk melaksanakan puasa qadha’, maka dia tidak boleh memutuskannya. Jika sudah berniat dan sudah mulai melaksanakannya, maka dia wajib menyempurnakannya. Karena ibadah wajib yang luas waktunya, jika seseorang sudah memulainya, maka dia wajib menuntaskannya, tidak boleh diputus. Keluasan waktu hanya ada sebelum melaksanakan ibadah itu. Jika sudah dimulai, maka tidak boleh diputus.

Sedangkan jika ia sedang melaksanakan puasa sunat, maka boleh memutuskannya. Karena, puasa sunat tidak harus disempurnakan. Akan tetapi yang terbaik baginya adalah menyempurnakan, dan dia boleh memutuskan. Dan dia, sama sekali tidak berdosa.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki rumahnya dalam keadaan melaksanakan puasa sunat. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan yang dihadiahkan kepadanya ada di dalam rumah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan puasanya. Ini menunjukkan, puasa sunat tidak harus disempurnakan.

Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih al Fauzan,  3/135.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/17004-qadha-puasa-wajib-dan-puasa-sunnah.html